Pages

Selasa, 08 September 2015

Market Outlook 7-11 September 2015


Minggu lalu bursa pasar modal di Indonesia terpantau balik berakhir melemah terpengaruh dengan sentimen negatif bursa kawasan atas pelemahan ekonomi China sementara rilis tingkat inflasi dalam negeri yang rendah masih kurang kuat untuk mengangkat indeks, sehingga secara mingguan bursa ditutup melemah ke level 4,415.34. Untuk minggu berikutnya ini (7-11 September) bursa tampaknya masih tetap akan bergerak hati-hati karena masih dalam tekanan bearish. Secara mingguan, IHSG berada antara support di level 4111 dan kemudian 4012, sedangkanresistance level di posisi 4600 dan 4775.
Mata uang rupiah seminggu lalu terpantau masih terus melemah terhadap dollar dengan mata uang dollar yang sedang bangkit perkasa kembali di pasar global, di mana secara mingguan rupiah melemah ke level 14,178. Kurs USDIDR pada minggu mendatang diperkirakan berada dalam range antara resistance di level 14,200 dan 14,265, sementara support di level 13,975 dan 13,800.
Untuk indikator ekonomi global, pada pekan mendatang ini akan diwarnai sejumlah data ekonomi penting, termasuk pengumuman suku bunga bank sentral Inggris dan Selandia Baru. Secara umum sejumlah agenda rilis data ekonomi global yang kiranya perlu diperhatikan investor minggu ini, adalah:
  • Dari kawasan Amerika: berupa rilis data tenaga kerja Unemployment Claims pada Kamis malam; disambung dengan rilis PPI dan Prelim UoM Consumer Sentiment pada Jumat malam. Hari Senin ini pasar Amerika tutup karena libur Labor Day.
  • Dari kawasan Eropa dan Inggris: berupa rilis dataManufacturing Production Inggris pada Rabu sore; diikuti dengan rilis MPC Official Bank Rate bank sentral Inggris (BOE) pada Kamis sore yang diperkirakan bertahan di level rendah 0.50%.
  • Dari kawasan Asia Australia: berupa rilis RBNZ Rate Statement dari Selandia Baru pada Kamis subuh yang diperkirakan turun ke level 2.75% dari level 3.00% saat ini; serta data inflasi China CPI y/y pada Kamis pagi.

Pasar Forex
Minggu lalu di pasar forex, mata uang dollar terlihat masih menguat walau lebih terbatas dari minggu sebelumnya dengan data tenaga kerja AS yang kurang menggembirakan sehingga dipandang oleh pasar agak menahan kemungkinan kenaikan bunga the Fed yang segera, di mana secara mingguan index dollar AS terpantau naik terbatas ke level 96.270. Sementara itu, pekan lalu euro dollar terpantau naik turun dan berakhir melemah tipis ke level 1.1150. Untuk minggu ini, nampaknya euro akan berada antara level support pada 1.1015 dan 1.0815 sementara resistance pada 1.1720 dan kemudian 1.1865.
Poundsterling minggu lalu terlihat melemah ke level 1.5188 terhadap dollar. Untuk minggu ini pasar berkisar antara level resistance pada 1.5820 dan 1.5945 sedangkan support pada 1.5160 dan kemudian 1.5090. Untuk USDJPY minggu lalu berakhir melemah ke level 119.54. Pasar di minggu ini akan berada di antara resistance level pada 121.65 dan 125.26, serta support pada 118.15 serta level 116.20. Sementara itu, Aussie dollar terpantau turun saja ke level 0.6942. Range minggu ini akan berada di antara support level di 0.6900 dan 0.6775, sementara resistance level di 0.7210 dan 0.7655.

Pasar Saham Kawasan
Untuk pasar saham kawasan, pada minggu lalu di regional Asia secara umum melemah dengan masih merosotnya bursa saham daratan China oleh kekuatiran pasar terhadap situasi pelambatan ekonomi dunia yang dipimpin China. Indeks Nikkei secara mingguan terpantau melemah ke level 17608. Rentang pasar saat ini antara level resistance di level 19210 dan 20665, sementara support pada level 17265 dan lalu 16550. Sementara itu, Indeks Hang Seng di Hong Kong minggu lalu berakhir melemah ke level 20715. Minggu ini akan berada antara level resistance di 21317 dan 22440, sementara support di 20240 dan 19450.
Bursa saham Wall Street minggu lalu terpantau melemah sampai sekitar 3% oleh kekuatiran investor akan kenaikan suku bunga the Fed dengan segera serta lemahnya data pertumbuhan ekonomi China. Dow Jones Industrial secara mingguan melemah dalam pasar yang volatile ke level 16,102.38, dengan rentang pasar berikutnya antara resistance level pada 16670 dan 17565, sementara support di level 15300 dan 14760. Index S&P 500 minggu lalu melemah ke level 1,921.22, dengan berikutnya range pasar antara resistance di level 1995 dan 2080, sementara support pada level 1860 dan 1820.

Pasar Emas
Untuk pasar emas, minggu lalu terpantau agak terkoreksi lagi dengan dollar yang mulai bangkit kembali dan berakhir dalam harga emas dunia yang melemah tipis ke level $1123.00 per troy ounce. Untuk sepekan ke depan emas akan berada dengan rentang harga pasar antara resistance di $1170 dan berikut $1190, serta support pada $1110 dan $1080. Di Indonesia, harga emas terpantau naik sedikit ke level Rp514,430.
Dinamika pasar terus bergerak secara aktif, naik turun di pasar investasi. Gejolak kondisi perekonomian di China dan kawasan Eropa yang menguatirkan dunia sedangkan di Amerika tampaknya semakin kondusif walau masih labil, menyisakan kebingungan pasar untuk bagaimana menyikapinya. Sementara itu, perekonomian kawasan Asia yang selama ini tampil menawan, sekarang nyaris babak belur oleh arus modal keluar akibat terjadinya pergeseran dana investasi global. Itu yang sedang ramai terjadi dalam pasar finansial global. Kalau Anda tidak punya waktu banyak kesempatan untuk mengikuti dan mengartikan pergerakan pasar demikian, Vibiznews.com dapat membantu Anda sepenuhnya serta memanfaatkannya untuk keputusan investasi yang lebih akurat. Terima kasih telah bersama kami karena mengingat kami ada demi sukses investasi Anda, pembaca setia Vibiznews!

By Alfred Pakasi ,
CEO Vibiz Counsulting
Vibiz Consulting Group

Tunggu Aksi The Fed, BI Masih Rem Semua Kebijakan Terkait Suku Bunga


Seperti diketahui, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dipertahankan pada level 7,5 persen sejak 17 Februari 2015 silam, setelah sebelumnya tercatat lebih tinggi 25 basis poin selama tiga bulan sejak November 2014. Meski tahun 2015 ini tren ekonomi global cenderung melemah dan sebagian besar bank sentral di belahan dunia memangkas suku bunganya, namun tidak demikian dengan BI, hingga saat ini BI belum juga menurunkan suku bunganya. Padahal, pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II tahun ini mengalami perlambatan dengan hanya mampu mencatat pertumbuhan sebesar 4,67 persen.
Dalam teori ekonomi, jika suku bunga acuan turun maka hal tersbeut otomatis dapat mendorong pertumbuhan dalam negeri dikarenakan pembiayaan perbankan ke sektor riil pun menjadi semakin murah harganya. Namun, rupanya BI memiliki alasan lain untuk tidak menurunkan suku bunga di bawah 7,5 persen. BI menilai bahwa pemangkasan BI rate bukanlah “obat” yang paling ampuh untuk menyelamatkan perlambatan ekonomi Indonesia saat ini dikarenakan tingkat inflasi yang sedang melambung tinggi. Oleh karena itu BI memang sengaja menahan konsumsi masyarakat agar inflasi tetap rendah.
Benar saja, inflasi pada  Agustus 2015 yakni 0,39 persen. Sedangkan inflasi tahun kalender Januari-Agustus 2015 sebesar 2,29 persen. Inflasi yang stabil membuat faktor produksi bekerja dengan nyaman. Sehingga suku bunga 7,5 persen masih menjadi stimulus bagi investor. Kebutuhan memangkas suku bunga BI belum menjadi opsi utama BI mengingat juga bahwa meski saat ini suku bunga masih tinggi saat nyatanya tidak langsung memukul kebutuhan primer seperti sembako (sembilan bahan pokok), karena yang pasti terkena dari suku bunga tinggi adalah konsumsi untuk kebutuhan sekunder dan tersier. 
Sejauh ini langkah BI selanjutnya masih menunggu kebijakan terbaru The Fed AS, ketidakpastian The Fed AS untuk menaikkan suku bunga acuannya telah membuat banyak orang mengambil ancang-ancang. Bagi BI, lebih cepat The Fed menaikkan suku bunga maka akn lebih baik karena BI bisa segera menghitung keseimbangan baru. Membaiknya perekonomian AS memang membuka ruang bagi The Fed untuk menaikkan suku bunganya, yang sudah sejak Mei 2013 digaungkan dan mulai saat itulah ketidakpastian pasar terjadi. 
Ketidakpastian pasar terjadi lantaran kenaikan suku bunga The Fed diyakini bakal menggiring dana masuk ke AS atau sering dikenal dengan istilah teori finance natural. Indonesia pun tak lepas dari gejolak ketidakpastian ini. Sebab dana-dana asing yang ada di Indonesia cukup banyak seperti 36 persen di pasar obligasi dan 60 persen di pasar modal. Kendati begitu, BI menegaskan bahwa tidak semua dana asing di emerging markets seperti Indonesia akan “hijrah” ke AS karena nantinya pasti akan ada rebalancing portfolio asing sesuai dengan keyakinan risiko atas fundamental sebuah negara
Stephanie Rebecca/VM/VBN/ Analyst at Vibiz Research Center
Editor: Asido Situmorang