Pages

Rabu, 12 Agustus 2015

Pasar Domestik Menanti Aksi 4 Menteri Ekonomi Yang Baru

Siang ini (12/8), Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) secara resmi melakukan reshuffle terhadap Kabinet Kerja nya, enam menteri baru resmi  dilantik di Istana Negara. Reshuffle dilakukan pemerintah agar memberi sedikit angin segar kepada pasar yang cenderung terus tertekan hingga hari ini.
Dari 6 Menteri yang baru dilantik ini, 4 di antaranya adalah di bidang perekonomian yaitu Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil.
Setelah kecewa dengan laju pertumbuhan di Q1/2015 yang hanya mencatat pertumbuhan sebesar 4,71 persen, pasar kembali dikagetkan dengan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu dimana tercatat bahwa laju perekonomian Indonesia kian memburuk pada Q2/2015 karena hanya mampu mencatat pertumbuhan sebesar 4,67 persen, tentu saja ini merupakan prestasi yang cukup buruk bagi Indonesia.
Mengapa penyegaran pasar melalui perombakan kabinet mendesak dilakukan? Hal ini dikarenakan kekecewaan pasar dan kekhawatiran pasar cenderung meningkat meningat pada Q2 kemarin bertepatan dengan bulan Ramadan, yang mana biasanya pada bulan tersebut terjadi lonjalan konsumsi (consumption expenditure) yang bisa membantu pertumbuhan ekonomi. Namun sayang, ternyata ekspektasi tersebut tidak menjadi kenyataan. Lonjakan permintaan barang dan jasa selama bulan Ramadan kemarin nampak tidak terjadi.
Penjelasan paling standar soal kelesuan ekonomi Indonesia saat ini memang karena kondisi faktor eksternal yang tidak lazim, yakni membaiknya perekonomian Amerika Serikat (AS) sehingga telah mendorong modal global untuk berbondong-bondong mengalir dari seluruh dunia ke AS. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS menjadi sangat tinggi sehingga praktis hampir semua mata uang dunia melemah terhadap dolar AS. Rupiah tak terkecuali, setelah mencapai puncak kejayaan rupiah pada Juli-Agustus 2011, ketika rupiah mencapai 8.600 per dolar AS, kini berangsur-angsur rupiah melemah ke level di atas 13.500 per dolar AS tanpa bisa ditahan.
Pada 2011 silam, rupiah mampu bertahan karena The Fed (Federal Reserve) agresif mencetak uang beredar dolar AS sehingga terjadi banjir pasokan dolar AS (quantitative easing) yang menyebabkan kurs dolar AS melemah.Hal ini yang cukup membedakan dengan situasi saat ini yang cenderung berbalik. Kini AS justru menghentikan pencetakan uang karena perekonomiannya membaik, hal inilah yang kemudian mengakibatkan kurs dolar AS menguat tajam.
Demikian adalah beberapa analisis yang perlu dipahami mengenai kondisi ekonomi Indonesia, pertama, kurs rupiah yang sudah menyentuh 13.500 per dolar AS sempat mengingatkan kita dengan krisis 1998 dimana kala itu rupiah mencapai 15.000 per dolar AS. Secara awam tentu akan banyak yang berfikir bahwa ‘gap’ antara 13.500 dengan 15.000 sudah sangat dekat sehingga banyak yang berpikir bahwa kondisi Indonesia saat ini mirip dengan krisisi 1998. Padahal kondisi ini berbeda sama sekali. Harus dipahami, krisis 1998 jauh lebih buruk daripada fenomena perlambatan ekonomi (bukan krisis) saat ini. Krisis ekonomi biasanya ditandai dengan pertumbuhan ekonomi negatif (kontraksi). Padahal saat ini pertumbuhan ekonomi kita masih positif 4,67%, bukan negatif. Yang terjadi pada tahun 1998 sebaliknya, kala itu pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat minus 13,7%.
Kedua, melemahnya rupiah menyebabkan kelesuan ekonomi, hal ini disebabkan karena struktur ekonomi dan industrialisasi Indonesia yang lemah sehingga barang impor menjadi cukup dominan di pasar domestik. Akibatnya, ketika rupiah melemah atau dolar AS menguat, permintaan terhadap barang-barang yang kandungan impornya tinggi menjadi sensitif. Namun sayang, kelesuan ternyata tidak hanya terjadi pada produk yang kandungan impornya tinggi seperti mobil, tapi juga kemudian menjalar ke produk-produk lain, termasuk di sektor ritel.
Tentu saja pelemahan rupiah ini akan menjadi persoalan yang cukup serius. Masalahnya, hampir seluruh produk yang diekspor Indonesia ialah komoditas primer (hasil pertambangan dan perkebunan), yang tidak sensitif terhadap pelemahan rupiah. Sedangkan produk yang sensitif terhadap pelemahan rupiah ialah produk-produk manufaktur, masih tidak cukup kuat untuk bersaing. Hal ini juga yang menjadi kendala mengapa pelemahan rupiah saat ini tidak mampu untuk menaikkan ekspor. Harus dipahami bahwa neraca perdagangan Indonesia sekarang mulai surplus, tapi bukan karena kenaikan ekspor manufaktur, melainkan lebih karena penurunan impor yang didorong oleh mahalnya barang-barang impor, termasuk barang-barang modal (capital goods).
Sejauh ini pemerintah optimis bahwa belanja pemerintah, baik pemerintah pusat (APBN) maupun pemerintah daerah (APBD) akan meroket pada semester II sehingga dapat menopang perlambatan ekonomi yang sedang emlanda tanah air hingga hari ini. Tetapi, perlu diingat juga bahwa kepercayaan (trust atau confidence) masyarakat dan pasar terhadap perekonomian Indonesia yang kini telanjur melemah juga perlu dibangun. Jika hal ini bisa dilakukan, maka akan tecermin pada kurs rupiah yang menguat serta meningkatnya hasrat berbelanja (willingness to spend) oleh konsumen.
Perekonomian ini merupakan sebuah siklus, maka jika gairan konsumen sudah mulai terlihat, para pengusaha pun akan mulai berinvestasi lagi sehingga kredit perbankan berekspansi. Namun yang terjadi kini ialah, pertumbuhan kredit bank melambat cukup signifikan ke level 10%. Bank Indonesia sendiri sudah mengakui bahwa kurs rupiah saat ini memang terlalu lemah (undervalued). Upaya Presiden Jokowi untuk mempercepat pembangunan infrastruktur merupakan salah satu hal yang penting untuk meyakinkan pasar bahwa pemerintah cekatan untuk mengatasi inefisiensi.
Dan isu lain yang juga tidak kalah penting ialah perombakan kabinet (reshuffle), karena sejak awal pasar domestik kerap mensinyalkan sentimen negatif terhadap kinerja beberapa menteri yang cukup meragukan kapasitas dan kompetensinya. Isu dan berbagai tekanan politik serta beraneka ‘titipan’ dari sana-sini telah mewarnai pembentukan kabinet ini sejak awal. Oleh karena itu “penyegaran” yang dilakukan Presiden siang ini merupakan langkah positif bagi Indonesia untuk mengawali Q3/2015. Setidaknya dengan adanya rehuffle diharapkan kepercayaan pasar dan masyarakat dapat direbut kembali, sehingga konsumen akan menjadi lebih percaya diri untuk berbelanja.

Stephanie Rebecca/VM/VBN/ Analyst at Vibiz Research Center
Editor: Asido Situmorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar