Target pemerintah Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen di tahun 2019 dinilai cukup sulit untuk dicapai. Hal ini didukung juga dengan kondisi ekonomi tiga macan Asia yakni Tiongkok, India dan Jepang, yang memang sedang melambat semua.
Tiongkok misalnya, berdasarkan data yang baru saja rilis siang ini (11/3/2015) juga menunjukkan hasil yang mengecewakan dimana bisnis peritel dan industrinya kian merosot tajam. Hal ini terjadi karena sedang terjadi kelebihan kapasitas hasil produksi manufaktur di negaranya karena efek dari instabilitas ekonomi global. Hasilnya, pada tahun ini target pertumbuhan ekonomi negara tersebut diturunkan menjadi 7 persen, setelah pada tahun lalu gagal mencapai target pertumbuhan 7,5 persen.
Investasi pemerintah hingga saat ini baru mencapai 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dimana seharusnya nilai investasi pemerintah adalah sebesar 5,7 persen dari PDB. Sedangkan investasi swasta yang seharusnya mencapai 27 persen dari PDB, saat ini baru mencapai 22 persen dari PDB. Tantangannya adalah pembiayaan dari perbankan domestik masih terlalu mahal.
Menurut analyst Vibiz Research Center, untuk Indonesia agar dapat memenuhi target 8 persen tersebut dinilai perlu memenuhi beberapa syarat, mulai dari melakukan reformasi struktural seperti yang sudah dilakukan Tiongkok dan Jepang, kemudian melakukan perpindahan fokus bisnis dari komoditas ke manufaktur, dan meningkatkan saving, sehingga kemampuan membiayai ekspansi ekonomi akan lebih tinggi. Selain itu, program pengembangan infrastruktur pemerintah juga harus dapat berjalan lancar, karena infrastruktur yang baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Seperti diketahui juga, Pemerintah dan DPR pada awal tahun ini telah menyepakati target pertumbuhan ekonomi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar 5,7 persen. Angka ini lebih rendah dari target sebelumnya sebesar 5,8 persen. Adapun target pertumbuhan dipatok di kisaran 5,7 persen karena menimbang besarnya risiko ekonomi global seiring penguatan ekonomi AS.
Perbaikan ekonomi AS dipastikan akan mendorong normalisasi kebijakan moneter bank sentralnya dan akan ikut mempengaruhi besaran asumsi terutama pergerakan nilai tukar dan target pertumbuhan.
Stephanie Rebecca/ VMN/VBN/Analyst-Vibiz Research Center
Editor: Jul Allens
Tiongkok misalnya, berdasarkan data yang baru saja rilis siang ini (11/3/2015) juga menunjukkan hasil yang mengecewakan dimana bisnis peritel dan industrinya kian merosot tajam. Hal ini terjadi karena sedang terjadi kelebihan kapasitas hasil produksi manufaktur di negaranya karena efek dari instabilitas ekonomi global. Hasilnya, pada tahun ini target pertumbuhan ekonomi negara tersebut diturunkan menjadi 7 persen, setelah pada tahun lalu gagal mencapai target pertumbuhan 7,5 persen.
Investasi pemerintah hingga saat ini baru mencapai 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dimana seharusnya nilai investasi pemerintah adalah sebesar 5,7 persen dari PDB. Sedangkan investasi swasta yang seharusnya mencapai 27 persen dari PDB, saat ini baru mencapai 22 persen dari PDB. Tantangannya adalah pembiayaan dari perbankan domestik masih terlalu mahal.
Menurut analyst Vibiz Research Center, untuk Indonesia agar dapat memenuhi target 8 persen tersebut dinilai perlu memenuhi beberapa syarat, mulai dari melakukan reformasi struktural seperti yang sudah dilakukan Tiongkok dan Jepang, kemudian melakukan perpindahan fokus bisnis dari komoditas ke manufaktur, dan meningkatkan saving, sehingga kemampuan membiayai ekspansi ekonomi akan lebih tinggi. Selain itu, program pengembangan infrastruktur pemerintah juga harus dapat berjalan lancar, karena infrastruktur yang baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Seperti diketahui juga, Pemerintah dan DPR pada awal tahun ini telah menyepakati target pertumbuhan ekonomi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar 5,7 persen. Angka ini lebih rendah dari target sebelumnya sebesar 5,8 persen. Adapun target pertumbuhan dipatok di kisaran 5,7 persen karena menimbang besarnya risiko ekonomi global seiring penguatan ekonomi AS.
Perbaikan ekonomi AS dipastikan akan mendorong normalisasi kebijakan moneter bank sentralnya dan akan ikut mempengaruhi besaran asumsi terutama pergerakan nilai tukar dan target pertumbuhan.
Stephanie Rebecca/ VMN/VBN/Analyst-Vibiz Research Center
Editor: Jul Allens
Tidak ada komentar:
Posting Komentar