Pages

Kamis, 27 Agustus 2015

Meski Pasar Emerging Market Turun, Bukan Berarti Terjadi Krisis

Pasar emerging market yang kini tengah terjun bebas, nilai mata uang meluncur deras, harga saham terjerembab, dan harga komoditas tersungkur, membangkitkan ingatan di benak investor tentang krisis keuangan yang menghantam Asia pada 1997 dan 1998. Kekhawatiran akan perlambatan pertumbuhan Tiongkok telah merusak kepercayaan pasar, ketika investor gelisah menunggu dampak kenaikan suku bunga Federal Reserve AS terhadapemerging market (EM).
Kendati demikian Morgan Stanley telah mengidentifikasikan delapan alasan, yang meyakini bahwa kejatuhan pasar yang terjadi belakangan ini tidaklah seburuk krisis pada akhir 1990-an. Berikut delapan alasan Morgan Stanley:
1. Profile utang: Sebagian besar kenaikan utang dalam siklus ini adalah utang domestik ketimbang utang eksternal, terutama di negara-negara EM. Kenaikan jumlah utang eksternal sangat terbatas karena lebih banyak utang berdenominasi mata uang lokal dan sebagian besar diserap oleh sektor publik. Sebaliknya utang eksternal yang terbentuk selama siklus 1990-an sebagian besar didominasi dolar AS dan kebanyakan diterbitkan oleh sektor korporasi.
2. Inflasi: Sebagian besar kawasan, kini menghadapi mengalami masalah akibat low-flation dalam indeks harga konsumen (IHK) dan deflasi dalam indeks harga produsen (IHP). Pada umumnya tekanan inflasioner bertindak sebagai penghalang bagi bank sentral untuk melakukan respon, namun dalam siklus ini masalah tersebut tidak muncul.
3. Neraca Transaksi Berjalan: Sebagian besar neraca berada dalam kondisi surplus; hanya India dan Indonesia yang sedikit mengalami defisit, di bawah 2,5% PDB.
4. Cadangan devisa: nilai cadangan devisa EM dapat membiayai utang jangka pendek hingga tiga atau lima kali lipat, atau mampu membiayai impor hingga 15 bulan.
5. Nilai tukar fleksibel: mata uang Asia sudah mengalami penyesuaian selama dua tahun terakhir. Morgan Stanley meyakini nilai tukar riil efektif (real effective exchange rate/REER) di sebagian besar mata uang negara emerging market sudah mengalami masa transisi dari kondisiundervalued menjadi sesuai nilai pasar sebagaimana tercermin neraca transaksi berjalan.
6. Pemicu eksternal: Kecepatan dan besaran kenaikan dalam suku bunga riil di AS cenderung lebih lambat/rendah, yang berarti pertumbuhan potensial di AS saat ini lebih lambat dibanding tahun 1990-an.
7. Kondisi moneter di Eropa: Pada 1996-1997, Eropa memperketat kebijakan moneternya. Namun dalam siklus kali ini, Eropa justru menerapkan pelonggaran kuantitatif, mempertahankan suku bunga riil di teritori negatif.
8. Peran penting Asia, di luar Jepang, bagi negara maju: Pada 1996, setahun sebelum krisis Asia, PDB Asia eks-Jepang hanya sekitar 9,8 persen nominal PDB global dalam dolar AS, dan kini sudah mencapai 21,8 persen. Pada 2014, nominal PDB Asia eks-Jepang sudah lebih besar dibanding kawasan euro, tapi masih lebih kecil dibanding AS. Dalam konteks ini, perlambatan Asia akan juga berdampak pasar negara maju, mempengaruhi laju rencana pengetatan moneter

Stephanie Rebecca/VBN/VMN/Analyst Vibiz Research Center
Editor : Asido Situmorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar