Pages

Jumat, 24 Agustus 2012

Krisis Ekonomi dan Skandal Finansial

(Vibiznews-Banking)-Belakangan ini kita mendengar berbagai skandal lembaga keuangan, yang dilakukan oleh perbankan maupun broker di pasar uang, pasar modal, pasar komoditi dan pasar derivative. Beberapa skandal yang terjadi pada tahun ini diantaranya :

MF Global Holdings Ltd, broker yang bangkrut tahun lalu dan menyebabkan US$1,6 miliar dana nasabahnya menguap. Perusahaan yang dipimpin oleh mantan CEO Goldman Sach, Jon Corzine, ini menjadi perusahaan nomor tujuh terkaya di Amerika Serikat yang mengalami kebangkrutan, bahkan perusahaan telah menggunakan dana nasabah untuk menopang kerugian yang terjadi akibat posisi perusahaan di pasar derivative.

Skandal LIBOR (London Interbank Bank Offered Rate) yang dilakukan oleh Barclays Plc. dengan CEO-nya Robert Diamond terlibat skandal manipulasi acuan suku bunga dunia ini yang sangat berdampak bagi perbankan global. Skandal ini mempengaruhi ratusan triliun dollar transaksi, menyangkut kredit bunga mengambang, interest rate swap juga interest futures dan transaksi lainnya yang memerlukan acuan LIBOR.

Skandal insider trading Nomura Holding Inc. yang membawa CEO Kenichi Watanabe dan COO Takumi Shibata harus turun dari jabatannya. Bahkan pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah ini juga mendapatkan pengawasan ketat diantaranya Daiwa Securities Group, SMBC Nikko Securities Inc, dan beberapa bank dan pialang ternama lainnya.

Skandal pencucian uang (money laundering) yang dituduhkan pada HSBC karena memberi fasilitas transaksi untuk kegiatan terorisme dan juga perdagangan obat terlarang, karena diduga mengalirkan dana dari Mexico, Iran, Syria dan bahkan dari Arab Saudi berkaitan dengan pendanaan peristiwa 9/11.

Standard Chartered Plc. juga terlibat pelanggaran kasus money laundering mereka di New York, mendapatkan tuduhan dari federal bahwa mereka secara illegal membantu negara-negara yang terkena sanksi termasuk Iran untuk menyalurkan uang melalui Amerika Serikat.

Krisis dan Perlunya Manuver

Krisis Zona Eropa dan Amerika Serikat telah berpengaruh pada perekonomian global, baik di sektor keuangan maupun sektor riil. Sebagai barometer ekonomi, tentunya para pelaku di sektor keuangan yang paling pertama merasakan pukulan dari krisis tersebut. Untuk mempertahankan diri dari tekanan merosotnya ekonomi global ini tentunya management perusahaan berpikir keras untuk melakukan manuver demi perusahaannya tetap mampu berdiri ditengah terpaan badai krisis.

Bila ada pilihan menghindar tentunya akan menghindar, namun karena besaran usahanya telah mendunia sehingga tidak mungkin lagi menghindar. Untuk merambah seluruh dunia di era global economy ini tidak berarti harus memiliki kantor cabang di seluruh dunia, dengan terlibat di pasar uang maupun pasar modal maka secara otomatis sudah merasakan volatilitas pasar global, maka semakin besar portfolio-nya semakin tidak mungkin menghindar dari goncangan ekonomi global.

Leverage atau Illegal

Untuk mendongkrak profitabilitas keuangan dalam keadaan diterpa badai, salah satu cara yang dipandang cukup efektif adalah mendorong pendapatan disertai dengan upaya mengurangi biaya.

Pengurangan biaya yang ekstrem adalah dengan cara menutup unit usaha atau kantor cabang, namun hal ini sangat erat kaitannya dengan pengurangan karyawan, sehingga upaya jenis ini justru sering menyulitkan management karena goncangannya malah bisa mempercepat robohnya perusahaan.

Untuk itu pilihan jatuh pada bagaimana mendongkrak pendapatan, yang diantaranya sebagai berikut :

Dalam kasus MF Global dan JP Morgan, maka mereka memilih untuk bertransaksi derivative. Transaksi derivative dikenal dengan transaksi dengan leverage yang tinggi, dan kita mengenal high return high risk. Pertanyaannya apakah transaksi derivative menguntungkan ? Tentunya kedua lembaga ternama ini tidak akan memilih instrument ini kalau tidak menguntungkan, bahkan JP Morgan pada kuartal pertama bisa meraih keuntungan sebesar USD 5.4 milyar dari transaksi credit index.

Tetapi permasalahan selanjutnya bagi MF Global dan JP Morgan adalah dalam rangka untuk meraih keuntungan yang lebih besar maka posisinya lebih besar lagi, dan ketika ternyata pasar bergerak melawan mereka, maka bukan keuntungan yang didapatkan malah kerugian yang menjadi sangat besar. Bahkan MF Global terus menambahkan dana untuk menahan posisi tersebut sehingga uang nasabah-pun ikut tercebur untuk posisi tersebut.

Kedua lembaga ini mengejar profit dengan resiko yang sangat besar sehingga mengalami kerugian yang turut membawa kerugian bagi nasabah dan para pemegang sahamnya. Kalaupun kemudian dianggap melanggar hukum, hal ini timbul dari tuntutan para nasabah yang dirugikan, atau juga dari pemerintah karena membahayakan keuangan pemerintah bila harus melakukan tindakan bail out.

Dalam kasus Nomura Holding Inc. dan Barclays Plc, kedua lembaga ini sudah masuk ranah melanggar hukum, dimana Nomura Holding Inc. berusaha meraup keuntungan dari insider trading, sedang Barclays Plc. melakukan pelanggaran dengan melakukan pengaturan LIBOR.

Sedang HSBC dan Standard Chartered, berusaha mendapatkan keuntungan dengan memberi jasa pengaturan arus transaksi dari uang kotor menjadi uang bersih, akibat dari praktek ini maka dituntut oleh pemerintah telah melakukan kegiatan money laundering.

Scope of Control

Dari pengalaman skandal dan kebangkrutan yang terjadi di beberapa lembaga keuangan di atas, maka salah satu masalah yang cukup mencuat adalah masalah scope of control dari top management bank atau broker tersebut yang sudah tidak mengejar kecepatan dan besaran transaksi di perusahannya.

Kesaksian dari para traders di MF Global menunjukkan bahwa system informasi yang ada tidak mengejar kecepatan perkembangan resiko pasar yang terjadi, demikian juga JP Morgan terlambat mengisolasi kerugian sehingga CEO-nya harus meminta maaf atas tindakan bodoh yang dilakukan traders-nya. Demikian juga dengan monitor yang lemah pada unit usaha telah membawa bank-bank ternama terlibat kasus money laundering.

Kata kunci dari kesuksesan bisnis lembaga keuangan adalah siapa yang mampu mengukur resiko dengan lebih tepat, maka dia lebih sukses. Siapa yang tidak mampu mengukur, tidak mampu juga untuk menahan resikonya. Maka kerugian besar atau bahkan kasus legal yang akan dituainya.

Seandainya ada mesin pencari dengan kemampuan algoritma seperti Google yang bisa membuat page rank, sebenarnya sangat diperlukan mesin pencari debt rank atau risk rank yang bisa membantu para CEO atau COO (Chief Operating Officer) mengukur resiko perusahaannya, namun sayangnya belum ada.

Beberapa psikolog dan ekonom dari Eropa telah melakukan penelitian tentang debt risk dari berbagai bank, hasilnya cukup mengejutkan bahwa resiko bank tidak tergantung dari ukuran besarnya perusahaan, karena bank yang lebih kecil ada yang memiliki resiko lebih besar dari bank yang besar, namun yang penting adalah scope of control dari top management bank tersebut apakah mampu mengukur setiap resiko yang terjadi dalam perusahaan.

Pasar berubah setiap saat berarti setiap saat ada peluang, namun setiap saat juga ada resiko bagi perusahaan kita.


(Kristanto Nugroho/TN/VBN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar